Headlines News :

Laporan Praktikum Kimia Anorganik II - Kalsium dan Seng

Written By AKADEMI KIMIA ANALISIS CARAKA NUSANTARA on 12 Januari 2011 | 07.04

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANORGANIK II

oleh : Imanuddin Zulhastono, Ranita W.A. Saragih

AKADEMI KIMIA ANALISIS CARAKA NUSANTARA DEPOK 2010


KALSIUM DAN SENG

I. Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui reaksi-reaksi yang terjadi pada kalsium dan seng dengan zat-zat lain

II. Pendahuluan


kalsium (Ca) adalah logam putih ke abu-abuan yang mudah di oksidasi dan kalsium harus di simpan ditempat yang bebas dari oksigen atau uap air. Konfigurasi electron kalsium adalah [Ar] 4s2

seng (Zn) adalah logam kuning yang kurang reaktif daripada Na , K atau Ca. konfigurasi electron Zn2+ adalah [Ar] 3d10 4s2 . konfigurasi electron Zn2+ dan Ca2+ sangat berbeda pada 10 elektron 3d Zn2+ pada kemampuannya membentuk kompleks dan kelarutannya dalam sulfida-sulfidanya. Rumus ion kompleks yang terbentuk ketika Zn(OH)2 terurai dalam NaOH yang berlebih adalah [Zn(OH)4]2- namanya zink(II) tetra hidroksida.

III. Alat Dan Bahan

Alat yang di gunakan:
· Pipet tetes
· Tabung reaksi
· Erlenmeyer
Bahan yang digunakan:
· Larutan Ca(NO3)2 0.5M
· Larutan Zn(NO3)2 0.5M
· Larutan NaOH 6M
· Larutan HCl 1M
· Larutan NH3 6M
· Larutan Na2CO3 1M
· Aquadest

IV. Prosedur Kerja

  • Di siapkan 5ml larutan Ca(NO3)2 di tambah 45ml Aquadest pada Erlenmeyer1
  • Di siapkan 5ml larutan Zn(NO3)2 di tambah 45ml Aquadest pada Erlenmeyer 2
A. Reaksi Dengan Ion Hidroksida
  • Di siapkan 3ml larutan dalam erlenmeyer1 ke tabung reaksi di tambah 2tetes NaOH 6M, amati. lalu, di tambah 3ml NaOH 6M amati perubahannya.
  • Di siapkan 3ml larutan dalam erlenmeyer2 ke tabung reaksi di tambah 2tetes NaOH 6M, amati. lalu, di tambah tetes demi tetes NaOH 6M hingga endapan larut.
  • Di siapkan 3ml larutan dalam erlenmeyer2 ke tabung reaksi di tambah 2tetes NaOH 6M, amati. lalu, di tambah 2tetes HCl 1M amati perubahannya.
B. Reaksi Dengan Ammonia
  • Di siapkan 3ml larutan dalam erlenmeyer1 ke tabung reaksi di tambah 2tetes NH3 6M,amati. Lalu, ditambahkan 2ml aquadest dan 1ml NH3 6M. amati perubahannya.
  • Di siapkan 3ml larutan dalam erlenmeyer2 ke tabung reaksi di tambah 2tetes NH3 6M,amati. Lalu, ditambahkan tetes demi tetes NH3 6M hingga endapan larut.
C. Reaksi Dengan Ion Karbonat
  • Di siapkan 1ml Na2CO3 1M ke dalam tabung reaksi, ditambah 2ml larutan dalam Erlenmeyer 1. Amati perubahannya.
  • Di siapkan 1ml Na2CO3 1M ke dalam tabung reaksi, ditambah 2ml larutan dalam Erlenmeyer 1. Amati perubahannya.

V. Reaksi

a. Reaksi Dengan Ion Hidroksida

Ca(NO3)2 + 2NaOH → Ca(OH)2 ↓ + 2NaNO3
Zn(NO3)2 + 2NaOH → Zn(OH)2 ↓ + 2NaNO3
Zn(OH)2 ↓ + 2HCl → ZnCl2 + 2H2O

b. Reaksi Dengan Ammonia

Zn2++ 2H2O + 2NH3 ↔ Zn(OH)2 ↓ + 2NH4+
Zn(OH)2 ↓ + 4NH3 ↔ [Zn(NH3)4]2+ + 2OH-

c. Reaksi Dengan Ion Karbonat

Na2CO3 + Ca(NO3)2 → CaCO3 + 2NaNO3
Na2CO3 + Zn(NO3)2 → ZnCO3 + 2NaNO3

VI. Data Pengamatan
Di siapkan 5ml larutan Ca(NO3)2 0.5M di tambah 45ml Aquadest pada (Erlenmeyer1)
Di siapkan 5ml larutan Zn(NO3)2 0.5M di tambah 45ml Aquadest pada (Erlenmeyer 2)

Reaksi Dengan Ion Hidroksida

  • 3ml Ca(NO3)2 dalam erlenmeyer1+ 2tetes NaOH 6M → keruh putih

+ 3ml NaOH → ↓putih

  • 3ml Zn(NO3)2 dalam Erlenmeyer2 + 2tetes NaOH 6M → keruh putih

+ 3ml NaOH 6M → bening

  • 3ml Zn(NO3)2 dalam Erlenmeyer2 + 2tetes NaOH → keruh putih

+ 2tetes HCl 1M → bening


Reaksi Dengan Ammonia

  • 3ml Ca(NO3)2 dalam erlenmeyer1+ 2tetes NH3 6M → bening

+ 2ml aquadest + 1ml NH3 6M → keruh putih

  • 3ml Zn(NO3)2 dalam erlenmeyer2+ 2tetes NH3 6M → ↓putih

+ 1ml NH3 6M → bening, ↓hilang


Reaksi Dengan Ion Karbonat

  • 1ml Na2CO3 1M + 2ml Ca(NO3)2 dalam erlenmeyer1 → ↓putih,keruh,keruh
  • 1ml Na2CO3 1M + 2ml Zn(NO3)2 dalam erlenmeyer2 → ↓putih,keruh

VII. Pembahasan

  • Senyawa Ca(NO3)2 jika di reaksikan dengan NaOH akan terbentuk endapan. Hal ini karena Ca(NO3)2 merupakan garam yang bersifat basa
  • Senyawa Ca bila direaksikan dengan larutan ammonia tidak terbentuk endapan , karena kalsium hidroksida larut cukup banyak. Dengan zat pengendap yang telah lama di buat, mungkin akan timbul kekeruhan karena terbentuknya kalsium karbonat,
  • Pada reaksi ion karbonat endapan CaCO3 lebih banyak di bandingkan endapan ZnCO3 karena nilai kelarutan ksp ion Ca lebih kecil di bandingkan nilai kelarutan ksp ion Zn
  • Senyawa Zn yang direaksikan dengan NaOH beberapa tetes membentuk endapan Zn(OH)2 setelah penambahan NaOH berlebih maka endapan akan larut, karena Zn membentuk senyawa komplek [Zn(OH)4]2-
  • Zn merupakan logam berat yang termasuk dalam golongan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) jika kadar yang ada di perairan melebihi nilai ambang batas.
  • Senyawa Zn bila d reaksikan dengan ion hidroksida akan menghasilkan endapan seperti delatin yang putih yaitu zink hidroksida Zn(OH)2.

VIII. Kesimpulan
“Suatu senyawa yang memiliki nilai ksp lebih kecil maka semakin mudah terbentuk endapan, dan sebaliknya bila suatu senyawa memiliki nilai ksp lebih besar maka semakin mudah larut.”
“ion Zn merupakan amfoter sehingga dapat bereaksi pada senyawa asam maupun senyawa basa”

“ion Ca bersifat basa dan bereaksi dengan senyawa asam akan menghasilkan garam atau berbentuk endapan”


Daftar Pustaka
Svehla, G., 1979, Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro,
diterjemahkan olehS etiono, L. dan Pudjaatmaka, H.A ., PT KalmanMedia
Pustaka, Jakarta.

http://digilib.its.ac.id/ITS-Undergraduate-3100008033727/3699

Penuntun praktikum kimia anorganik II,

akademi kimia caraka nusantara

Unsur dan Senyawa Kimia

Written By AKADEMI KIMIA ANALISIS CARAKA NUSANTARA on 9 Januari 2011 | 12.33

Unsur dan Senyawa Kimia

Unsur kimia


Unsur kimia, atau hanya disebut unsur, adalah zat kimia yang tak dapat dibagi lagi menjadi zat yang lebih kecil, atau tak dapat diubah menjadi zat kimia lain denganmenggunakan metode kimia biasa. Partikel terkecil dari unsur adalah atom. Sebuah atom terdiri atas inti atom (nukleus) dan dikelilingi oleh elektron. Inti atom terdiri atas sejumlah proton dan neutron. Hingga saat ini diketahui terdapat 116 unsur di dunia.

Gambaran umum
Hal yang membedakan unsur satu dengan lainnya adalah jumlah proton dalam inti atom tersebut. Misalnya, seluruh atom karbon memiliki proton sebanyak 6 buah, sedangkan atom oksigen memiliki proton sebanyak 8 buah. Jumlah proton pada sebuah atom dikenal dengan istilah nomor atom (dilambangkan dengan Z).
Namun demikian, atom-atom pada unsur yang sama tersebut dapat memiliki jumlah neutron yang berbeda; hal ini dikenal dengan sebutan isotop. Massa atom
sebuah unsur (dilambangkan dengan “A”) adalah massa rata-rata atom suatu unsur pada alam. Karena massa elektron sangatlah kecil, dan massa neutron hampir sama dengan massa proton, maka massa atom biasanya dinyatakan dengan jumlah proton dan neutron pada inti atom, pada isotop yang memiliki kelimpahan terbanyak di alam. Ukuran massa atom adalah satuan massa atom (smu).

Beberapa isotop bersifat radioaktif, dan mengalami penguraian (peluruhan) terhadap radiasi partikel alfa atau beta. Unsur paling ringan adalah hidrogen dan helium. Hidrogen dipercaya sebagai unsur yang ada pertama kali di jagad raya setelah terjadinya Big Bang. Seluruh unsur-unsur berat secara alami terbentuk (baik secara alami ataupun buatan) melalui berbagai metode nukleosintesis. Hingga tahun 2005, dikenal 116 unsur yang diketahui, 93 unsur diantaranya terdapat di alam, dan 23 unsur merupakan unsur buatan. Unsur buatan pertama kali diduga adalah teknetium pada tahun 1937. Seluruh unsur buatan merupakan radioaktif dengan waktu paruh yang pendek, sehingga atom-atom tersebut yang terbentuk secara alami sepertinya telah terurai.

Daftar unsur dapat dinyatakan berdasarkan nama, simbol, atau nomor atom. Dalam tabel periodik, disajikan pula pengelompokan unsur-unsur yang memiliki
sifat-sifat kimia yang sama.

Nomenklatur
Penamaan unsur telah jauh sebelum adanya teori atom suatu zat, meski pada waktu itu belum diketahui mana yang merupakan unsur, dan mana yang merupakan senyawa. Ketika teori atom berkembang, nama-nama unsur yang telah digunakan pada masa lampau tetap dipakai. Misalnya, unsur “cuprum” dalam Bahasa Inggris dikenal dengan copper, dan dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah tembaga. Contoh lain, dalam Bahasa Jerman “Wasserstoff” berarti “hidrogen”, dan “Sauerstoff” berarti “oksigen”. Nama resmi dari unsur kimia ditentukan oleh organisasi IUPAC. Menurut IUPAC, nama unsur tidak diawali dengan huruf kapital, kecuali berada di awal kalimat. Dalam paruh akhir abad ke-20, banyak laboratorium mampu menciptakan unsur baru yang memiliki tingkat peluruhan cukup tinggi untuk dijual atau disimpan. Nama-nama unsur baru ini ditetapkan pula oleh IUPAC, dan umumnya mengadopsi nama yang dipilih oleh penemu unsur tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kontroversi grup riset mana yang asli menemukan unsur tersebut, dan penundaan penamaan unsur dalam waktu yang lama (lihat kontroversi penamaan unsur).

Lambang kimia
Sebelum kimia menjadi bidang ilmu, ahli alkemi telah menentukan simbol-simbol baik untuk logam maupun senyawa umum lainnya. Mereka menggunakan singkatan dalam diagram atau prosedur; dan tanpa konsep mengenai suatu atom bergabung untuk membentuk molekul. Dengan perkembangan teori zat, John Dalton memperkenalkan simbol-simbol yang lebih sederhana, didasarkan oleh lingkaran, yang digunakan untuk menggambarkan molekul. Sistem yang saat ini digunakan diperkenalkan oleh Berzelius. Dalam sistem tipografi tersebut, simbol kimia yang digunakan adalah singkatan dari nama Latin (karena waktu itu Bahasa Latin merupakan bahasa sains); misalnya Fe adalah simbol untuk unsur ferrum (besi), Cu adalah simbol untuk unsur Cuprum (tembaga), Hg adalah simbol untuk unsur hydrargyrum (raksa), dan sebagainya.

Simbol kimia digunakan secara internasional, meski nama-nama unsur diterjemahkan antarbahasa. Huruf pertama simbol kimia ditulis dalam huruf kapital, sedangkan huruf selanjutnya (jika ada) ditulis dalam huruf kecil.

Simbol non-unsur
Non unsur, khususnya dalam kimia organik dan organometalik, seringkali menggunakan simbol yang terinspirasi oleh simbol-simbol unsur kimia. Berikut adalah contohnya:

Cy – sikloheksil; Ph – fenil; Bz – benzoil; Bn – benzil; Cp – Siklopentadiena; Pr –
propil; Me – metil; Et – etil; Tf – triflat; Ts – tosil; Hb – hemoglobin.

Senyawa kimia

Senyawa kimia adalah zat kimia yang terbentuk dari dua atau lebih unsur kimia, dengan rasio tetap yang menentukan komposisi. Contohnya, dihidrogen
monoksida (air, H2O) adalah sebuah senyawa yang terdiri dari dua atom hidrogen untuk setiap atom oksigen. Umumnya, rasio tetap ini harus tetap karena sifat fisikanya, bukan rasio yang dipilih manusia. Oleh karena itu, material seperti kuningan, superkonduktor YBCO, semikonduktor “aluminium galium arsenida“, atau coklat dianggap sebagai campuran atau aloy, bukan senyawa.

Ciri-ciri yang membedakan senyawa adalah dia memiliki rumus kimia. Rumus kimia memerikan rasio atom dalam zat, dan jumlah atom dalam molekul tunggalnya (oleh karena itu rumus kimia etena adalah C2H4 dan bukan CH2. Rumus kimia tidak menyebutkan apakah senyawa tersebut terdiri atas molekul;contohnya, natrium klorida (garam dapur, NaCl adalah senyawa ionik. Senyawa dapat wujud dalam beberapa fase. Kebanyakan senyawa dapat berupa zat padat. Senyawa molekuler dapat juga berupa cairan atau gas. Semua senyawa akan terurai menjadi senyawa yang lebih kecil atau atom individual bila dipanaskan sampai suhu tertentu (yang disebut suhu penguraian). Setiap senyawa kimia yang telah dijelaskan dalam literatur memiliki nomor pengenal yang unik, yaitu nomor CAS.

Jenis senyawa
  • €€€€€€€ asam
  • €€€€€€€ basa
  • €€€€€€€ senyawa ionik
  • €€€€€€€ garam
  • €€€€€€€ oksida
  • €€€€€€€ senyawa organik

Pengaruh Silika gel (Aerosil) pada Membran Elektrolit Berbasis Polieter-eter keton

Written By AKADEMI KIMIA ANALISIS CARAKA NUSANTARA on 2 Januari 2011 | 23.16

Pengaruh Silika gel (Aerosil) pada Membran Elektrolit Berbasis Polieter-eter keton

Singgih Hartanto1,2 , Lin Marlina2, Sri Handayani2, Latifah2

  1. 1. Akademi Kimia Analisis Caraka Nusantara Depok , Komp Timah Kelapa Dua Depok
  2. 2. Jurusan Teknik Kimia – FTI - Institut Teknologi Indonesia., Jl. Raya Puspiptek Serpong, Tangerang 15320. Telp.: 021-7561092

Abstrak
Perkembangan teknologi bahan bakar alternatif khususnya dibidang sel bahan bakar, perlu ditunjang teknologi material pendukungnya. Salah satu material yang digunakan pada sel bahan bakar adalah membran yang terbuat dari polimer fluoro-karbon aromatik yang tersulfonasi (nafion). Permasalahan yang timbul pada nafion sebagai membran polimer elektrolit pada aplikasi Direct Methanol Fuel cell (DMFC) adalah adanya permeabilitas metanol melalui membran (methanol cross over) . Methanol cross over menyebabkan sebagian bahan bakar (metanol) yang digunakan hilang tetapi juga menyebabkan katoda tergenang yang berakibat laju reaksi di katoda menjadi lebih lambat yang berarti menurunkan nilai voltase sel secara keseluruhan. Upaya untuk mengatasi hal ini adalah dengan menggunakan polimer polieter-eter keton yang tersulfonasi (SPEEK) karena polimer ini memiliki kestabilan kimia, mekanik dan panas yang baik. Untuk meningkatkan konduktivitas ionik dari SPEEK perlu dimodifikasi dengan menambahkan aditif SiO2 . Penambahan SiO2 3% berat dapat meningkatkan konduktivitas sampai 0,14 S/cm dan permeabilitas metanol 10 kali lebih rendah dibanding tanpa SiO2

Abstract
The fuel cell has been developed as a promising alternative for energy conversion. Nafion, the fluorinated membrane has been intensively used for Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). They show high proton conductivity and chemical stability, but the methanol permeability is too high. Sulfonated polyether ether ketone, with potentially lower cost used for Direct Methanol Fuel Cell (DMFC). This polymer have been chemical, mechanic and thermal stability. The main purpose of this work is to provide a general method for reducing the methanol permeability in proton conductive polymers by inorganic modification with SiO2 and Al2O3 addition to the polymer. The result indicated that the addition of 3% SiO2 to the polymer can be to increasing conductivity and reduce the permeability.

Kata kunci : Poli eter-eter keton, SiO2, Al2O3

Pendahuluan
Ketergantungan manusia terhadap minyak bumi dan semakin berkurangnya cadangan minyak bumi telah mendorong manusia untuk menemukan bahan bakar alternatif. Sekarang telah berkembang bahan bakar gas, listrik, baterai, fuel cell, biodisel, dan lain-lain. Sel Bahan bakar (Fuel Cell]) adalah suatu piranti pembangkit yang menghasilkan listrik langsung melalui proses elektrokimia dengan gas Hidrogen (H2) sebagai bahan bakar dan Oksigen sebagai oksidator. Penggunaan fuel cell diharapkan dapat menekan ketergantungan masyarakat terhadap bahan bakar minyak dan akan mengurangi rusaknya lapisan atmosfer akibat emisi.


Prinsip kerja dari sel bahan bakar ini sangat mirip sekali dengan baterai (accu) di mana keduanya sama-sama mempunyai komponen utama elektroda dan elektrolit. Perbedaannya terletak pada fungsinya, di mana pada sel bahan bakar selain berfungsi untuk menyimpan tenaga listrik, dapat pula difungsikan sebagai penghasil tenaga listrik saja. Tenaga pembangkit energi listrik melalui penggunaan sel bahan bakar ini merupakan teknologi dengan biaya relatif murah, beresiko rendah, dapat dibuat dalam kapasitas kecil sampai besar, dengan efesiensi sistem yang tinggi serta tidak menimbulkan polusi. Dari segi lingkungan hidup pemanfaatan fuel cell di sektor transportasi akan mengurangi tingkat pencemaran udara di kota besar karena emisi buang sel bakar ini berupa uap air. Oleh karena itu Fuel Cell merupakan salah satu energi alternatif yang menjanjikan.


Saat ini jenis-jenis Fuel cell dikenal dalam lima kategori, yaitu Alkaline Fuel cell (AFC), Phosforic Acid Fuel cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel cell (MCFC), Solid Oxide Fuel cell (SOFC), Solid Polymer Electrrolyte Fuel cell (SPEFC). SPEFC berbahan hydrogen disebut Polymer Electrolyt Membran Fuel cell (PEMFC) sedangkan yang berbahan methanol disebut Direct Methanol Fuel cell (DMFC) [Carette, 2001].


Membran merupakan salah satu komponen yang sangat penting yang digunakan pada Fuel cell. Komponen ini berfungsi untuk memisahkan reaktan dan sebagai sarana transportasi ion hydrogen (H+) yang dihasilkan oleh reaksi anoda menuju katoda. Karakteristik membran elektrolit untuk aplikasi DMFC adalah konduktivitas ionik yang besar, menghindari adanya permeabilitas methanol serta kestabilan kimia dan mekanik.


Saat ini membran yang banyak digunakan untuk aplikasi PEMFC/DMFC adalah membran yang terbuat dari fluoro-polimer dengan menambahkan rantai cabang yang mengandung gugus sulfonat, membran ini dikenal dengan nama Nafion. Kemampuan Nafion untuk penghantar proton sudah cukup efisien dengan konduktivitas sekitar 0,082 S/cm [Informasi produk DuPontTM] . Namun permasalahan utama dari system DMFC ini adalah adanya permeabilitas metanol melalui membran (methanol cross over) yang sulit dihindari. Methanol cross over tidak hanya menyebabkan sebagian kecil bahan bakar (metanol) yang digunakan hilang tetapi juga menyebabkan katoda tergenang yang berakibat laju reaksi di katoda menjadi lebih lambat yang berarti menurunkan kerja voltase sel secara keseluruhan.


Dalam rangka mengurangi Methanol crossover melalui membran, ada dua pendekatan yaitu modifikasi struktur membran konvensional (Nafion) atau pengembangan membran polimer elektrolit (+ modifikasi). Modifikasi Nafion dilakukan dengan menambahkan aditif anorganik seperti SiO2, Al2O3, Zr2O3 [Arico et al., 2003]
Salah satu polimer aromatik yang menarik perhatian sebagai membran elektrolit pada aplikasi DMFC adalah polieter-eter keton (PEEK) karena selain dari karakteristik polimer tersebut yang bisa tahan untuk aplikasi DMFC, polimer tersebut juga cukup mudah dan sederhana dalam proses sulfonasinya yaitu menggunakan asam sulfat pekat. Proses sulfonasi dapat dikontrol oleh waktu atau suhu operasi [Mikhaelenko et al., 2001; Lei Li et al., 2003 ; Xing et al., 2004; Othman, 2005; Handayani et al., 2006].


Untuk dapat meningkatkan konduktivitas ionik dan menurunkan permeabilitas metanol perlu juga dilakukan modifikasi pada polieter-eter keton yang sudah tersulfonasi (SPEEK) yaitu dengan menambahkan aditif anorganik SiO2. Pada makalah ini, akan dipelajari pengaruh SiO2 terhadap karakteristik membran polieter-eter keton tersulfonasi. Karakteristik yang diukur adalah konduktivitas ionik, permeabilitas metanol, daya serap membran (swelling) terhadap air dan metanol, dan analisa kualitatif dengan FTIR.

Metodologi
Bahan Penelitian
PEEK-450-P, Victrex., SiO2 (Aerosil), Al2O3, asam sulfat pekat (Merck) , n-methyl-2-pyrrolidone .

Proses Sulfonasi PEEK
PEEK sebanayak 5 gram dilarutkan dengan 100 ml asam sulfat pekat (Merck, 95-98%) pada suhu 50 oC dan waktu 3 jam sambil diaduk kuat. Untuk mengakhiri reaksi, larutan polimer tersebut diendapkan dalam air dingin akan terbentuk polimer padat dan didiamkan semalaman. Polimer tersebut dipisahkan dari campurannya dan dicuci dengan aquadest secara berulang-ulang hingga pH netral, setelah itu dikeringkan dengan oven.

Pembuatan Membran
Pembuatan membran dengan metode inversi fasa, yaitu PEEK yang telah tersulfonasi (SPEEK) dilarutkan dalam n-methyl-2-pyrrolidone sambil diaduk hingga larut kira-kira 3 jam kemudian tambahkan aditif dan diteruskan pengadukannya hingga waktu 6 jam. Setelah itu campuran tersebut didiamkan semalaman, dan diultrasonik selama 30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan pencetakan membran menggunakan doctor blade pada pelat gelas. Membran yang sudah dicetak kemudian dikeringkan dengan oven. Variasi konsentrasi SiO2 adalah 0%, 3%, 5%, 10% dan 15%, sedangkan variasi konsentrasi Al2O3 adalah 0%, 3%, 5%, 10% dari berat polimer.

Karakteristik Membran

  • Swelling air dan metanol pada membran

Sampel membran dikeringkan dalam oven, kemudian ditimbang, didapat berat kering membran (wkering). Kemudian sampel membran tersebut direndam dalam air (metanol 1 M) selama 24 jam pada suhu kamar. Kemudian sampel membran yang telah direndam air (metanol 1 M) ditimbang dan didapatkan berat basah membran (wbasah).
Swelling air (metanol) pada membran dihitung menggunakan persamaan (1) [Carmen, 2002] :

(1)

  • Konduktivitas Ionik

Pengukuran konduktivitas ionik pada membran menggunakan metode arus bolak-balik impedansi komplek spektroskopi (ac impedance complex spectroscoy Solatron 1260. Skema alat sel konduktivitas dapat dilihat pada beberapa jurnal [Y.Woo et al., 2003, Handayani et al., 2006] :
(2)

R adalah nilai impedansi yang diperoleh dari pada ac impedance complex spectroscopy Solatron 1260, pada frequensi 1 Hz – 1 MHz dan voltase 20 mV.

  • Permeabilitas metanol

Permeabilitas metanol diukur pada suhu kamar menggunakan metode difusi sel menggunakan persamaan (6). Skema alat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Membran diletakkan diantara dua sel (A dan B). Mula-mula sel A berisi larutan metanol 2 M (CA) sebagai sisi umpan, dan sel B berisi aquades sebagai sisi permeat. Masing-masing sel diaduk selama 6 jam, kemudian larutan di sel B dianalisa konsentrasi metanolnya (CB).Sebelum diukur membran direndam dengan aquades selama 5 jam. Konsentrasi metanol diukur berdasarkan densitas larutan.
Persamaan untuk menghitung permeabilitas metanol [J Won et al., 2003] adalah sebagai berikut:

(3)

DK adalah permeabilitas metanol, cm2/s.

Gambar 1. Sel Difusi

  • Struktur membran elektrolit

Analisa kualitatif struktur membran elektrolit dapat dianalisa menggunakan spektroskopi FTIR. Spektrum FTIR diukur pada daerah bilangan gelombang 400-4000 cm-1. Sampel membran yang diukur hanya pada membran yang mempunyai karakteristik yang terbaik.

Hasil dan Pembahasan

  • Swelling air dan metanol pada membran

Uji swelling air untuk mengetahui seberapa besar air yang diserap membran karena air pada permukaan membran berfungsi sebagai media tranport proton.
Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi SiO2 yang ditambahkan maka semakin besar nilai persen sweeling air pada membran. Penambahan 3-5 % SiO2 meningkatkan sweeling air sekitar 20% dari tanpa aditif , dan meningkat menjadi 75-100% setelah penambahan SiO2 10-15%. Semakin besar swelling air akan membuat media transport proton menjadi lebih mudah. Meningkatnya swelling air dikarenakan SiO2 bersifat higroskopik sehingga mudah mengadsorpsi air pada permukaan dan meningkatkan sifat menahan air. Tetapi pada penambahan aditif Al2O3 3% ternyata swelling lebih rendah dibanding dengan tanpa aditif, dan mulai meningkat sejalan dengan penambahan Al2O3 yang lebih besar lagi hingga 10%, tetapi masih rendah dibanding dengan tanpa aditif. Jika dilihat dari daya serap air membran ternyata SiO2 lebih bersifat mudah menyerap air dibanding dengan Al2O3. Al2O3 bersifat amfoter sehingga dapat bereaksi dengan zat yang bersifat asam maupun basa. Penambahan Al2O3 pada membran akan menyebabkan reaksi antara Al2O3 dengan membran karena membran bersifat asam sehingga sifat mengadsorbsi membran terhadap air juga menurun.

Pada penambahan 3% SiO2 maka sweeling air pada membran bertambah. Hal ini dikarenakan metanol memiliki sifat yang mirip dengan air yang bersifat polar, sehingga dapat terserap juga oleh silika gel yang bersifat higroskopik dan mempunyai luas permukaan yang besar.

Gambar 2. Pengaruh konsentrasi aditif terhadap swelling air.

Gambar 3. Pengaruh konsentrasi aditif terhadap swelling metanol.

Uji sweeling metanol dilakukan untuk mengetahui daya serap polimer terhadap metanol yang erat kaitannya dengan methanol cross over pada sistem DMFC yang menggunakan bahan bakar metanol. Terlihat dari Gambar 5.1 bahwa semakin besar konsentrasi SiO2 maka semakin besar persen sweeling metanolnya. Hal ini dikarenakan metanol memiliki sifat sama seperti air yang bersifat polar, sehingga dapat terserap juga oleh silika gel yang bersifat higroskopik dan mempunyai luas permukaan yang besar. Kecenderungan yang sama terjadi pada penambahan Al2O3 dimana semakin besar konsentrasi Al2O3 yang ditambahankan akan semakin besar swelling metanol pada membran tetapi masih lebih tinggi dibanding dengan tanpa menggunakan aditif Al2O3.

  • Konduktivitas Ionik

Dari Gambar 4 dapat terlihat bahwa nilai konduktivitas ionik untuk membran yang ditambahkan SiO2 lebih tinggi dibandingkan dengan membran yang tanpa SiO2 (0%). Nilai konduktivitas ionic terbesar (0,14 S/cm) yaitu pada pemakaian SiO2 3% dari berat polimer dan nilai ini lebih besar dibandingkan dengan konduktivitas ionic dari Nafion. Konduktivitasnya menurun setelah penambahan SiO2 diatas 3% (5% -15%), hal ini disebabkan adanya reaksi antara SiO2 dengan air yang teradsorbsi pada membrane membentuk asam silikat yang bersifat asam lemah. Semakin banyak SiO2 yang ditambahkan maka kecenderungan asam silikat dalam bentuk molekul juga semakin besar sehingga konduktivitas ionic akan menurun. Tetapi pada penambahan Al2O3 , konduktivitas ionic menurun seiring dengan semakin banyaknya Al2O3 yang ditambahkan. Untuk nilai konduktivitas ionik yang tertinggi didapat pada penambahan aditif sebanyak 3%, sehingga didapat konsentrasi untuk penambahan aditif yang optimum adalah 3% yaitu nilai konduktivits ionik sebesar 0.14 S/cm.

Untuk nilai konduktivitas ionik yang tertinggi didapat pada penambahan aditif sebanyak 3%, sehingga didapat konsentrasi untuk penambahan aditif yang optimum adalah 3% yaitu nilai konduktivits ionik sebesar 0.14 S/cm.


Gambar 4. Pengaruh konsentrasi aditif terhadap konduktivitas ionik.

  • Permeabilitas metanol

Permeabilitas adalah kemampuan membran untuk melewatkan senyawa spesifik. Analisa ini sangat erat hubungannya dengan methanol cross over pada sistem DMFC, dimana kelemahan sistem DMFC adalah methanol cross over, sehingga untuk mengurangi terjadinya perpindahan metanol dan meningkatkan efesiensi alat untuk menghasilkan arus maka diusahakan membran elektrolit yang digunakan memiliki nilai permeabilitas metanol yang kecil.

Gambar 5. Pengaruh konsentrasi SiO2 dan Al2O3 terhadap permeabilitas metanol

Dari Gambar 5 dapat terlihat bahwa penambahan silika maka nilai permeabilitas metanol untuk membran elektrolit lebih kecil. Hal ini disebabkan silika dapat menyerap metanol kedalam permukaan silika sehingga sebagian besar metanol tidak melewati membran dan kecenderungan yang sama terjadi pada penambahan Al2O3. Selain itu dengan adanya penambahan silika dan alumina tidak terbentuk membran berpori sehingga pindahnya metanol melalui membran sangat sedikit maka didapat nilai permeabilitas metanol yang kecil.
Membran yang ada sekarang banyak digunakan memiliki permeabilitas 3,56.10-6 cm2/s (Nafion), tetapi dari hasil analisa membran SPEEK dengan silika diperoleh nilai permeabilitas yang lebih kecil. Dari semua data permeabilitas yang paling kecil nilainya adalah membran dengan silika gel 15%

  • Fourier-Transform Infra Red (FTIR)

Analisa FTIR digunakan untuk melihat adanya gugus sulfonat didalam membran sPEEK yang diakibatkan karena proses sulfonasi. Pada analisa ini spektrum yang diambil adalah pada daerah bilangan gelombang 4000 cm-1 hingga 400 cm-1. Gambar 6. menunjukkan kurva spektrum infra merah dari sPEEK + SiO2 3% yang menunjukkan puncak dari gugus sulfonat, yaitu pada bilangan gelombang 1118.89 cm-1 dengan penyerapan sebesar 1.7. Hal ini dikarenakan adanya penambahan silika gel dapat menggeser gugus sulfonat sehingga terletak pada bilangan gelombang yang berbeda dan terlihat bahwa dalam karakteristik membran tersebut tidak hanya sulfonat yang berperan dalam menghantarkan proton tetapi silika gel dapat mempengaruhi jalannya proton


Gambar 6. Hasil Analisa FTIR sPEEK + SiO2 3%

Kesimpulan

Konduktivitas dan permeabilitas membran polieter eter keton tersulfonasi –SiO2 sangat erat hubungannya sifat keasaman permukaan membran. Sifat tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik air dan aditif yang diadsorpsi pada membran. Konduktivitas maksimum yaitu 0,14 S/cm dan permeabilitasnya 11x10-8 cm/s terjadi pada penambahan aditif SiO2 3% ke dalam membran. Nilai parameter ini lebih baik dari pada yang ditunjukkan oleh membran Nafion.

DAFTAR PUSTAKA

  • Manea Carmen and Marcel Mulder, 2002, “Characterization of Polymer Blends of Sulfonated Polyetheretherketone for Direct Methanol Fuel Cell Applications”, dalam Journal of Membrane Science no 206 hlm 443-253.
  • Arico,A.S, 2003, “FTIR Investigation of Inorganic Fillers for Composite DMFC Membranes”, Journal Electrochemistry Comunication, Vol 5 pg 862-866
  • Othman, 2005. Organic/inorganic Hybrid Membrane for Direct Methanol Fuel Cell Applications. The 3rd Regional Symposium on Membrane Technology for Industry and Environtmental Protection, ITB, Bandung
  • Jung, D.H, 2002, “performance evaluation of a Nafion/Silicon oxide hybrid membranes for direct methanol fuel cell”, Journal of power sources vol. 106 pg 173-177
  • Carette, L, K.A. Friedrich, and U.stimming, 2001, “Fuel Cell-fundamentals and Aplications”, Fuel Cell, volume 1 No. 1, hal 5-39.
  • Carmen Mane, Marcel Mulder. (2002). New Polimeric electrolyte membranes based on proton donor proton acceptor properties for direct methanol fuel cells. Desalination, (147), 179-182.
  • Zhou, W. J. et al. (2003). Performance Comparison of Low-Temperature Direct Alcohol Fuel Cells with Different Anode Catalysts. (Article in Press) Journal of Power Sources xxx xxx-xxx.
 
Support : Puisi | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Akademi Kimia Analisis Caraka Nusantara (AKA Depok) - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger